Wednesday, January 6, 2016

Berlari jarak pendek intensitas tinggi 6 Januari 2016

3 hari adalah waktu yang bagi saya terlalu lama untuk berhenti berlari. Hal ini terasa pada bagaimana tubuh saya merespon ajakan untuk berlari. Sendi terasa lebih kaku untuk digerakkan (pada kali pertama) jika dibandingkan dengan masa jeda yang, katakanlah, paling lama 2 hari. 
Sore tadi saya menemukan solusi untuk permasalahan tersebut. Sebelumnya saya ingin menceritakan mengenai beberapa alasan mengenai mengapa saya tidak berlari pada hari tersebut. Hal paling utama yang menjadi biang penyebab tentulah rasa malas. Namun, rasa malas tidaklah serta merta datang tanpa didahului oleh letupan-letupan kejadian kecil yang pada akhirnya menimbulkan perasaan malas itu sendiri, diantara kejadian kecil itu adalah masalah waktu. Sering kali, jadwal pulang yang terlewat sore, mendekati pukul 18.00, menyebabkan saya urung untuk beraktivitas fisik. Hal ini tentu diakibatkan oleh keengganan untuk selesai beraktivitas lebih larut malam lagi. Alasan ini memegang peranan cukup besar dan sering dalam menyebabkan saya lagi dan lagi urung berolah raga sore hari.
Kembali kepada solusi yang telah saya sebutkan pada beberapa kalimat sebelumnya. Solusi tersebut adalah "hajar saja". Yang saya maksud adalah tidak ada lagi alasan untuk tidak berolah raga. Kemarin sore saya tiba di rumah saat jarum jam menunjukkan 15 menit lagi menuju angka 6 sore. Lekas saya ambil sepatu lari dan bersalin pakaian. 
Saya memutuskan untuk berlari jarak pendek, meskipun godaan untuk berlari jarak jauh masuk ke dalam pikiran sepanjang waktu. Berlari dengan jarak yang pendek, saya memberi tuntutan kepada tubuh saya untuk berlari lebih intense dan cepat. Dan benar saja, saya sudah terlalu lama tidak terlatih untuk berlari intense. Di angka 2 kilometer saya kehabisan tenaga. Catatan waktu total adalah 12 menit, yang berarti rata-rata perkilometernya membutuhkan waktu 6 menit. Bagi kebanyakan orang yang rutin berlari, angka 6 menit untuk 1 kilometer adalah sesuatu yang tidak luar biasa. Namun tidak bagi tubuh saya. 

Saya terbiasa untuk selama ini berlari dengan kecepatan cenderung lambat (diatas 6 menit) untuk jarak tempuh minimal 10 kilometer. Hal ini berakibat pada tubuh saya yang telat atau enggan merespon ajakan untuk berlari cepat. Hal inilah yang terpikir bagi saya untuk diperbaiki dengan sesering mungkin saya berlari pada sore hari, berlari dengan kilometer yang menyesuaikan ketersediaan waktu dan dengan kecepatan yang tinggi, sesekali mungkin akan diselingi dengan kecepatan yang lebih lambat untuk pemulihan, namun tidak dengan berjalan. 

Esok hari saya akan kembali berlari sore hari, setidaknya saya harus bisa menempuh 2 kilometer atau 2 kilometer plus 10% dengan kondisi yang lebih mantab. Kita lihat saja. 

Monday, January 4, 2016

Sabtu 2 Januari 2016

Hari kedua di awal tahun 2016, pagi harinya kembali saya "warnai" dengan berlari. Aplikasi android Nike+ saya menunjukkan jadwal latihan marathon, yang tak pernah saya ikuti, di angka 12,9 km. Rasanya kok baru kemarin saya berlari hanya kuat sampai titik kilometer ke 4,6, sekarang harus menghajar angka 13 kilometer kurang. 

Diluar konteks angka kilometer, terbesit sebuah ide untuk membuat lintasan lari yang unik yang pada akhirnya akan meninggalkan jejak di aplikasi nike+. Bentuk apa yang akan dibentuk sampai dengan menyentuh jarak 12,9km? entahlah, dititik mana jarak tersebut akan tercapai dengan berlari saya pun belum mengetahuinya. Jadi, aku hanya berlari meneruskan rute lari yang belum terselesaikan di hari sebelumnya. Melingkari Jl. Tjok Agung Tresna - Raya Puputan, kilometer demi kilo dilalui, sampai genap 10 km. Jarak standar minimal yang memang ingin kupenuhi pada tiap lari akhir pekan. 

Pada kesempatan berlari kali ini aku menyempatkan diri untuk mampir ke kantor untuk memberi makan ikan cupang peliharaan temanku. Dan satu cerita lain yang kudapatkan dari hari itu adalah, semakin jebolnya sol sepatu lariku.